Oleh: Candra Hosea
Ketua DPC GMNI Kota Depok
Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Kongres XXII 2025 menjadi oase para kader GMNI ss-Indonesia. Sebuah harapan agar kongres menghasilkan keputusan terbaik demi keberlangsungan perjuangan anak cucu Bung Karno dalam membela kaum marhaen.
Kita tidak membahas konstelasi politik di Kongres GMNI 2025 kali ini. Kita tidak juga membanding-bandingkan para calon ketua umum yang flyernya juga bertebaran di sosial media.
Sebab, tak semua mata jeli, bahwa awan hitam akan menghampiri rumah kaum marhaen. Marwah front marhaenis akan terancam kredibilitasnya.
Sujahri Somar, adalah salah nama yang menghiasi dinamika di dalam tubuh GMNI. Ia adalah Sekretaris Jenderal dari Ketua Umum GMNI Imanuel Cahyadi hasil Kongres Ambon 2019.
Belakangan, ia santer menjadi calon Ketua Umum GMNI. Banyak flyer online bertebaran dalam rangka mendukung Sujahri. Namanya juga kontestasi, apapun yang terbaik harus diperjuangkan.
Sujahri, dengan berbagai langkahnya, terus bergerak untuk menjadi nomor satu, yang akan memimpin puluhan ribu kader GMNI se-Indonesia. Namun, ada hal fundamental yang ia lupakan sebagai seorang insan akademis.
Sujahri, tanpa sepengetahuan kader GMNI selama ini, bahkan selama hampir 6 tahun menjabat Sekjend GMNI, ternyata merupakan mahasiswa drop out, atau populer dengan istilah DO. Anda semua tak salah baca. Calon Ketua Umum Sujahri Somar adalah mahasiswa DO sejak 2018.
Berdasarkan data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Sujahri Somar telah “dikeluarkan” dari IAIN Ambon sejak semester Ganjil 2018/2019. Fakta ini menggambarkan kegagalan mendasar dalam menyelesaikan tanggung jawab akademik yang seharusnya menjadi fondasi intelektual seorang calon pemimpin nasional.
Bagaimana mungkin GMNI, sebuah organisasi ideologis yang menjunjung tinggi kualitas moral dan intelektual kadernya, akan menyerahkan mandat kepemimpinan kepada individu yang bahkan tak mampu menuntaskan jenjang pendidikannya. Ini bukan hanya soal ijazah, tapi soal integritas, konsistensi, dan keteladanan.
Pencalonan Sujahri Somar menabrak aturan yang termaktub dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) GMNI serta UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Dalam Pasal 3 Ayat 2 AD/ART GMNI dinyatakan bahwa usia maksimal anggota adalah 30 tahun. Sementara Sujahri kini telah memasuki usia 31 tahun.
Ini berarti, pencalonan Sujahri tidak sah secara struktural, dan mencederai sistem organisasi. Ketika aturan dilanggar demi ambisi individu, maka yang dipertaruhkan adalah kredibilitas seluruh sistem kaderisasi.
Melakukan persidangan diluar ketentuan yang telah ditetapkan oleh panitia bukan sekadar soal teknis, melainkan bagian dari skenario untuk meloloskan calon bermasalah dengan berbagai manuver. GMNI bukan sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah ruang ideologis yang melahirkan kader-kader pejuang rakyat, yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme, marhaenisme, dan integritas.
Ketika seseorang yang bermasalah secara moral, akademik, dan administratif tetap dipaksakan maju, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita dan nilai perjuangan GMNI. Jika tokoh bermasalah seperti SS bisa mencuat sebagai calon ketua umum, maka perlu ditanyakan: di mana para kader potensial yang lahir dari proses kaderisasi yang sah, bersih, dan ideologis?
Tidak boleh ada pembiaran terhadap proses yang mencederai nilai, aturan, dan marwah organisasi. GMNI harus diselamatkan dari dominasi kekuasaan yang merusak. Pemilihan Ketua Umum bukan soal siapa yang paling populer, tetapi siapa yang paling layak secara moral, struktural, dan ideologis.